Beranda | Artikel
Shalat Witir Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
Senin, 23 September 2024

Bersama Pemateri :
Ustadz Abu Yahya Badrusalam

Shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Mukhtashar Shahih Muslim yang disampaikan oleh Ustadz Abu Yahya Badrusalam, Lc. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Ahad, 18 Rabiul Awal 1446 H / 22 September 2024 M.

Kajian Tentang Shalat Witir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Setelah mendengar hal tersebut, Sa’ad kembali kepada istrinya yang telah ditalaknya, dan merujuknya kembali dengan disaksikan oleh orang lain. Kemudian, ia menemui Ibnu Abbas untuk menanyakan tentang shalat witir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ibnu Abbas berkata, “Maukah aku tunjukkan kepadamu orang yang paling mengetahui tentang shalat witir Rasulullah?” Sa’ad bertanya, “Siapa dia?” Ibnu Abbas menjawab, “Aisyah. Pergilah dan tanyalah kepadanya, kemudian kabarkan kepadaku apa yang dikatakannya.”

Sa’ad pun menemui Aisyah, dengan mengajak Hakim bin Aflah. Ia berkata, “Aku tidak akan mendekatinya, karena aku telah melarangnya untuk berbicara tentang kedua golongan ini, namun ia tetap bersikeras untuk terus melanjutkan (pembicaraan) tentang keduanya.” -Maksudnya adalah ketika itu Aisyah ingin pergi ke Kufah mendamaikan Ali dan Muawiyah. Namun yang terjadi malah Perang Jamal.

Setelah mendapat izin, mereka masuk ke rumah Aisyah. Aisyah bertanya, “Apakah ini Hakim?” Hakim menjawab, “Iya.” Aisyah bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?” Hakim menjawab, “Sa’ad bin Hisyam bin Amir.” Mendengar itu, Aisyah mendoakan rahmat kepada Hisyam bin Amir dan mengucapkan kata-kata yang baik. Qatadah berkata bahwa Hisyam bin Amir gugur dalam Perang Uhud.

Sa’ad bertanya kepada Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aisyah menjawab:

“Bukankah kamu membaca Al-Qur’an? Sesungguhnya akhlak Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah Al-Qur’an.”

Lalu Sa’ad bertanya tentang shalat malamnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aisyah menjawab:

“Bukankah kamu membaca/hafal surah Al-Muzzammil? Allah telah mewajibkan shalat malam di awal surah ini. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama para sahabatnya melaksanakan shalat malam selama setahun, dan Allah menahan ayat terakhirnya selama dua belas bulan di langit hingga akhirnya Allah menurunkan keringanan di akhir surah, sehingga shalat malam menjadi sunnah setelah sebelumnya wajib.”

Sa’ad kemudian bertanya tentang shalat witirnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Aisyah menjelaskan:

“Kami dahulu mempersiapkan siwak dan air untuk wudhu bagi beliau. Lalu Allah membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki-Nya di malam hari. Rasulullah bersiwak, berwudhu, dan shalat sembilan rakaat tanpa duduk kecuali di rakaat kedelapan, di mana beliau mengingat Allah, memuji-Nya, dan berdoa kepada-Nya, lalu berdiri lagi tanpa salam dan melanjutkan rakaat kesembilan. Setelah itu, beliau duduk tahiyat, berzikir, memuji Allah, dan berdoa, lalu mengucapkan salam yang kami dengar. Setelah itu, beliau shalat dua rakaat dalam keadaan duduk. Jadi, totalnya sebelas rakaat, hai anakku. Ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah tua dan tubuhnya mulai gemuk, beliau hanya shalat tujuh rakaat (dengan tahiyat di rakaat yang keenam dan ketujuh), kemudian beliau melakukan shalat dua rakaat, sehingga itu menjadi sembilan rakaat saja, hai anakku. Dan jika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melakukan shalat, maka beliau suka untuk mendawamkannya. Ketika beliau terlewat karena tidur atau sakit, beliau menggantinya dengan shalat dua belas rakaat di siang hari. Dan aku belum pernah mengetahui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca Al-Qur’an seluruhnya dalam satu malam. Dan aku pun tidak pernah mengetahui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat malam semalam suntuk sampai subuh. Tidak pula aku mengetahui beliau berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan.”

Lalu aku pun pergi kepada Ibnu abbas lalu menyampaikan hadits kepadanya. Dia berkata, “Aisyah benar. Kalaulah aku bisa mendekat ke Aisyah atau bisa masuk ke rumah Aisyah, aku pasti akan mendatangi Aisyah supaya ia langsung berbicara denganku.”

Maka Sa’ad berkata, “Kalau aku tahu kamu ternyata tidak mau masuk ke rumah Aisyah, aku tidak akan menyampaikan hadits tadi kepada kamu.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini, kita bisa mengambil beberapa faedah.

Faedah pertama, semangat para tabi’in untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tentunya, jihad yang memenuhi syaratnya. Sa’ad ingin menjual tanahnya demi ikut jihad hingga mati syahid.

Faedah kedua, pentingnya bertanya kepada para ulama tentang perbuatan yang hendak kita lakukan. Ketika Sa’ad datang ke Kota Madinah dan bertanya kepada penduduk Madinah—tentunya para ulama di sana—maka rupanya para ulama Madinah ini melarangnya, dan mengatakan bahwa tindakan tersebut tidak boleh.

Hal ini karena di zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ada enam orang yang juga memiliki niat yang sama, ingin pergi jihad sampai mati, tetapi dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Maka setelah bertanya kepada para ulama, dia pun paham bahwa tindakan tersebut tidak boleh dilakukan, dan akhirnya dia membatalkan niatnya.

Inilah pelajaran penting bagi kita semua. Jangan sampai kita hanya bermodalkan semangat saja untuk berjihad, tanpa ilmu. Semua harus dengan ilmu, bukan hanya semangat belaka. Semangat saja tanpa ilmu itu seperti angin ribut, lebih banyak mudaratnya. Penting sekali untuk bertanya terlebih dahulu kepada para ulama.

Faedah ketiga, tidak ada kependetaan dalam Islam. Sa’ad bin Hisyam, misalnya, sampai mentalak istrinya dan pergi berjihad hingga mati. Ini tidak benar dalam Islam, karena tidak ada konsep kependetaan dalam agama kita. Kewajiban kita adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lihatlah bagaimana Rasulullah, sebagai seorang kepala negara dan juga sebagai seorang suami, mencontohkan ibadahnya. Ketika ada orang yang ingin shalat semalam suntuk, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menegurnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Aku shalat, aku tidur, aku berpuasa, aku berbuka, dan aku menikahi wanita. Barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Faedah keempat adalah menunjukkan seseorang kepada yang lebih berilmu. Ibnu Abbas adalah termasuk ulama sahabat. Ketika Sa’ad bertanya kepada Ibnu Abbas tentang shalat witir Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, meskipun Ibnu Abbas mengetahui ilmunya, terutama karena ia pernah menginap di rumah bibinya, Maimunah, untuk melihat bagaimana shalat malam Rasulullah, Ibnu Abbas tetap berkata, “Maukah aku tunjukkan kamu kepada orang yang paling berilmu tentang witir Rasulullah?” Ini menunjukkan sikap tawadhu. Ibnu Abbas lalu menyarankan Sa’ad untuk bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha.

Hal ini menjadi pelajaran bagi kita, terutama bagi seorang ustadz atau kiai, ketika melihat ada orang lain yang lebih mumpuni dalam suatu ilmu, lebih baik menyarankan orang tersebut untuk bertanya kepada yang lebih ahli. Pertama, ini adalah keselamatan bagi kita. Meskipun kita mungkin memiliki ilmu, namun bisa jadi tidak sedetail orang yang lebih mumpuni. Jika memaksakan diri menjawab, khawatirnya kita malah salah karena kurang menguasai permasalahan. Kedua, sikap ini menunjukkan ketawadhuan.

Contoh lain dari adab para sahabat adalah mereka sering saling menyuruh untuk bertanya kepada orang lain jika ditanya suatu pertanyaan, bahkan mereka bisa merujuk kepada orang lain hingga kembali kepada orang yang pertama kali ditanya. Ini karena mereka sangat berhati-hati dalam menjawab, sebab memberikan fatwa adalah tanggung jawab yang besar.

Kemudian, Sa’ad mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk bertanya tentang shalat malam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Saat Sa’ad dan Hakim bin Aflah sampai di sana, Aisyah bertanya, “Ini Hakim, bukan? Siapa yang bersamamu?” Ini menunjukkan sunnah untuk menanyakan nama seseorang saat pertama kali bertemu.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54504-shalat-witir-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam/